 |
Ilustrasi [Foto: dmilano.files.wordpress.com] |
Newskita.com | PAPAN peringatan itu dipasang pada lempeng besi. Isinya
larangan bagi pedagang kaki lima berjualan di muka Pasar Atjeh dan pintu masuk
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Tapi tempat ini selalu ramai pedagang,
mulai dari pedagang buah-buahan hingga pakaian. Mereka berebut pembeli. Mereka
seperti mengabaikan larangan itu.
Di antara pedagang tersebut, ada sejumlah perempuan yang
menjual barang yang sama. Jumlahnya lebih dari 15. Sebagian menggunakan gerobak
beratap yang seragam. Di Aceh, gerobak itu disebut ‘jambo’. Di bagian atas
jambo tertulis “Jambo Ranub Aceh”. Dalam bahasa Indonesia, ranub adalah sirih.
Salah satu jambo tadi milik Fatmawati, perempuan asal Sigli,
Pidie. Umurnya di atas 50-an. Uban menyembul dari balik selendang ungu yang
menutupi kepalanya. Wajahnya penuh keriput. Namun bibirnya tetap saja merah.
Bukan karena gincu, tapi akibat kebiasaan mengunyah sirih.
Di atas jambonya terdapat kotak kaca yang berisi sirih yang
sudah digulung dan dibentuk kerucut dan prisma. Di ujung sirih berbentuk prisma
diisi cengkeh. Dalam kotak itu juga ada wadah plastik berisi campuran pinang
yang sudah ditumbuk kasar dengan gula dan kencur. Ramuan inilah yang membuat
sirih kerucut menjadi manis. Sedangkan sirih berbentuk prisma berisi campuran
kapur, pinang dan gambir. Bahan-bahan itulah yang membuat bibir pemakan sirih
memerah.
"Lon ka treb meukat di sinoe, ikot nek. Thon1969 wate
mantong umu siblah thon (saya sudah lama jualan di sini, ikut nenek. Dari tahun
1969. Waktu itu umur saya masih sebelas tahun)," ujar nenek yang biasa
dipanggil "Kak Fat" oleh rekannya.
Jambo ranub Fatmawati adalah jambo bantuan yang diberikan
oleh Perusahaan Tambang dan Minyak Negara (Pertamina). Penyerahan itu dilakukan
oleh General Manager Unit Pemasaran I Pertamina Edwin Bakti dan diterima oleh
Wakil Walikota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal.
"Jinoe ka mangat, kana bantuan jambo, dile kamoe meukat
di ateuh meja tuha (Sekarang sudah enak, ada bantuan gerobak, dulu kami jualan
di atas meja tua)," ujarnya.
Hampir setiap hari Fatmawati berburu sirih di Pasar Keudah.
Jika tidak beruntung, ia harus memesan sirih kepada muge (pedagang daun sirih)
di Blang Bintang, Aceh Besar. Harga seikat sirih Rp 1.500. Setelah diracik
dengan ramuan khusus, empat buah ranub yang telah dibentuk dijual seharga Rp
1.000. Dalam sehari Fatmawati bisa mendapat keuntungan bersih Rp 20 ribu hingga
Rp 30 ribu. Itu sudah dipotong ongkos transportasi Rp 16 ribu dari rumah ke
mesjid Baiturrahman.
"Mehai bacut, sebab lon ba barang, sayang gob dimita
peng cit lagee tanyoe. Na cit untong bacut, meunyo leue yang lagoet (Yang agak
mahal ongkos becaknya, karena saya bawa banyak barang, kasihan, kan mereka cari
uang juga seperti kita, ada juga untung sedikit, kalau ramai yang beli),"
kata Fatmawati, sambil melayani pembeli.
Ranub dijual dengan berbagai rasa. Ada yang manis dan
pahit-pahit pedas, atau yang asli. Sirih untuk rasa manis dibuat dari jenis
seulasih. Warna daunnya hijau pekat, ukurannya daunnya lebih kecil dan
mengkilap. Sirih dengan rasa manis mulai banyak digemari sejak 10 tahun lalu.
Sedangkan sirih yang digunakan untuk jenis kedua, warna daunnya lebih pudar dan
lebar. Di Aceh, sirih ini dikenal dengan nama ranub cot iku. Karena bagian
ujung daun yang mencuat.
“Ranub mameh rame
yang galak, hana tamah gapue, jadi han mabok. Aneuk muda leubeh galak ranub
mameh (Sirih manis ramai yang suka, karena nggak ada tambahan kapur, jadi nggak
membuat pusing. Anak muda juga lebih suka sirih manis),” katanya.
Fatmawati juga menjual buah pinang yang besarnya rata-rata
seukuran jempol kaki orang dewasa. Harganya murah. Satu biji pinang ia jual Rp
300. Dalam satu hari Fatmawati paling banyak hanya bisa mendapat Rp 5.000 dari
menjual buah-buah pinang itu.
“Pineung nyen, rame yang bloe untuk ubat. Saket maag, na cit
untuk penambah stamina,rame yang peusan, seubab payah meuteume pineung nyen.
(Pinang muda itu banyak yang cari. Karena bisa untuk obat maag, untuk penambah
stamina. Ramai yang pesan, karena susah untuk mendapat pinang muda),” katanya.
Dari hasil berjualan ranub, Fatmawati berhasil menyekolahkan
keempat anaknya, Nurhafni yang duduk di kelas dua Madrasah Aliyah Negeri (MAN),
Ibnu Fajar kelas satu MAN, Zulqhaiah kelas dua Madrasah Tsanawiyah Negeri
(MTSn) dan si bungsu Fajri Maulizar di pesantren Ampe Awe, Aceh Besar.
Harga barang yang terus meningkat membuatnya semakin
kewalahan mencukupi kebutuhan hidup, termasuk biaya sekolah.
“Biasa jih sigolom di euk yuem barang, jeut ta peusep-sep,
jino ka payah that (Biasanya sebelum naik harga barang bisa dicukup-cukupin,
sekarang sudah semakin susah),” keluh Fatmawati.
“KALAU ditanya sejak kapan tradisi makan sirih dimulai, saya
juga nggak tahu. Menurut endatu (nenek moyang), orang Aceh terkenal suka makan
sirih. Ini bisa dilihat di setiap rumah ada pohon sirih. Mungkin sekarang sudah
agak berkurang. Sirih juga dijadikan simbol penikahan. Mulai dari cah roat,
yaitu kunjungan pertama orang tua pria terhadap calon pengantin perempuan,”
kata Badruzzaman. Ia ketua Majelis Adat Aceh (MAA). Lembaga ini kerap menjadi
rujukan untuk mencari tahu adat dan tradisi di Aceh.
Menurut Badruzzaman, orangtua yang jadi seulangke datang ke
tempat anak gadis membawa batee ranub di saat acara cah roat. Batee ranub
adalah sebuah tempat berbentuk cawan berwarna kuning yang biasa terbuat dari
tembaga bersepuh emas.
“Tapi sekarang cuma dari (bahan) kuningan saja. Di dalamnya
terdapat kerandam, yaitu tempat kapur, gambir, bakung, cengkeh serta kencur
yang terbuat dari emas atau perak. Juga ada gapet (alat) untuk memotong
pinang,” katanya.
Dalam adat Aceh, kata dia, sirih juga dijadikan sebagai
tanda pengikat. Bila ada tamu datang ke rumah, tamu selalu disuguhkan sirih
terlebih dulu. Setelah itu baru disajikan makanan.
Selain pernikahan, hampir setiap kenduri bisa dipastikan ada
batee ranub. Bahkan ketika ada yang meninggal. Batee ranub menjadi sajian
utama. Dari situ, kata Badruzzaman, sirih menjadi salah satu sarana komunikasi
masyarakat Aceh.
“Orang pulang
menunaikan ibadah haji selalu bawa pulang batee ranub untuk oleh-oleh yang dibagikan
kepada saudara. Mungkin saja di Arab sana, bukan berfungsi sebagai tempat
sirih. Tapi sampai ke Aceh dijadikan batee ranub,” kisahnya.
Sirih juga bermanfaat sebagai obat
“Orang jaman dulu
kuat dan sehat. Giginya nggak rapuh karena mereka makan sirih yang mengandung
berbagai khasiat untuk menyembuhkan penyakit. Mulai penghilang bau badan hingga
obat jantung. Khasiat daun sirih sudah banyak dikenal dan telah teruji secara
klinis. Hingga kini, penelitian tentang tanaman ini masih terus dikembangkan,”
ujarnya, serius.
Bahan-bahan yang digunakan untuk meramu sirih juga
mengandung berbagai khasiat yang menyehatkan badan. Pinang juga dikenal
khasiatnya sebagai penambah stamina. Gambir untuk obat maag. Bakung mengandung
bahan penguat gigi.
“Itu sebabnya
orang-orang tua di Aceh yang suka sugoe bakong giginya kuat. Sampai umur senja
masih bisa makan apa saja. Jadi semua ramuan sirih itu menyehatkan,” kata
Badruzzaman.
Menurut kajian kesehatan, sirih mengandung zat antiseptik pada
seluruh bagiannya. Daunnya banyak digunakan untuk mengobati mimisan, mata
merah, keputihan, membuat suara nyaring dan banyak lagi, termasuk disfungsi
ereksi.
Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Piper Betle Lynn. Ia
termasuk jenis tumbuhan merambat dan bersandar pada batang pohon lain. Biasanya
orang Aceh menggunakan pohon pinang sebagai tempat tanaman ini merambat.
Tingginya mencapai 5 meter, dengan batang berwarna coklat
kehijauan, bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang
tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling,
bertangkai, dan mengeluarkan bau yang segar. Panjangnya sekitar lima sampai
delapan sentimeter dan lebar dua sampai lima sentimeter.
Minyak atsiri dari daun sirih memiliki daya mematikan kuman,
antioksidasi dan fungisida atau anti jamur. Itu sebabnya sirih berkhasiat
menghilangkan bau badan yang ditimbulkan bakteri dan cendawan. Daun sirih juga
bersifat menahan perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan saluran
pencernaan. Selain itu juga bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak,
meluruhkan ludah, dan menghentikan perdarahan.
Selain sirih hijau juga dikenal sirih merah. Sesuai namanya,
sirih ini berwarna merah. Dan mempunyai nama ilmiah Piper Crocatum. Tanaman ini
juga berkhasiat menyembuhkan penyakit jantung koroner, asam urat, hipertensi,
sel-sel kanker, diabetes mellitus dan tumor.
Dari negeri mana asal sirih?
“Saya tidak tahu
asal-muasal sirih, karena tidak ada buku atau literatur yang saya baca
mencatatnya. Tapi saya pernah mendengar kalau sirih itu berasal dari tanaman
yang berasal dari India, Sri Lanka dan Malaysia,” kata Badruzzaman.
Yang pasti, tradisi menyirih sudah lama berlangsung di Aceh.
Tradisi merangkai sirih untuk pesta-pesta adat juga mulai berkembang. Ada
berbagai macam rangkaian, seperti Kupiah Meukeutop, Siput, Buku Balam, Nenas,
Ranub Bungkoh, dan berbagai bentuk lainnya.
“Adanya tarian ranub lampuan yang menggambarkan penyambutan
tamu juga menunjukkan salah satu keistimewaan sirih,” lanjut Badruzzaman.
Di samping masjid Baiturrahman, gerobak pedagang ranub
terlihat berjajar-jajar. Selain berjualan ranub, Fatmawati juga menerima
pesanan ranub dalong. Ini sirih yang dimaksud Badruzzaman. Rangkaian sirih beragam
bentuk. Harga ranub dalong lebih mahal, antara Rp 100 hingga Rp 200 ribu.
Tergantung bentuk rangkaian dan tingkat kerumitan. Tapi pembeli ranub dalong
tak banyak.
Menjelang magrib, para pedagang buah-buahan membereskan
dagangannya. Tak lama kemudian tempat mereka digantikan pedagang sepatu,
penjual jam, dompet, tali pinggang serta buku. Dagangan mereka hampir memenuhi
badan jalan. Namun Fatmawati masih setia dengan sirihnya. Ia baru akan dijemput
becak motor langganannya tengah malam nanti. Becak motor itu akan mengantarkan
Fatmawati ke rumah di Peuniti, yang dibangun dari jerih payahnya dan sang
suami. (Mellyan/acehfeature.org)
COMMENTS